Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Mahar Jingga


Judul: Mahar Jingga
Penulis: Syarif Hade
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: x + 174 halaman
Tahun terbit: 2016
ISBN: 978-602-03-1900-1
Peresensi: Yumahest

Ketika dalam rumah tangga datang orang ketiga, pasti ada pihak yang tersakiti. Seperti inilah yang dialami dalam kehidupan rumah tangga Nizam dan Sabria.

Awal mulanya, Nizam bertemu dengan Nadya―penulis muda berusia sembilan belas tahun ini―ketika acara peluncuran dan bedah buku Nizam. Gadis belia itu merupakan salah satu penanya di acara tersebut. Usai acara selesai, Nadya memperkenalkan diri kemudian keduanya bertukar kartu nama. Hingga cinta datang dari kedua belah pihak.

Hingga suatu hari, Nizam terang-terangan meminta izin kepada Sabria, istrinya untuk menikah lagi. Namun, Sabria tidak mengizinkan. Wanita itu tidak ingin dimadu dan ingin menjadi ratu satu-satunya yang menempati singgasana hati Nizam. Sebab, ia tidak kuat jika suaminya membagi cintanya kepada perempuan lain.

Ternyata bukan hanya Sabria saja yang tidak setuju dengan rencana Nizam yang ingin menikah lagi, orang tua dan keluarga dari pihak Nizam pun tidak menyetujui keputusan Nizam.

Semakin dilema lagi ketika Sabria meminta Nizam untuk memilih antara Sabria atau Nadya. Jika keputusan suaminya itu sudah bulat, ia meminta lebih baik dicerai saja. Kemudian lelaki itu meminta solusi kepada teman curhatannya hingga meminta solusi kepada kyai.

Hingga suatu waktu, Tharik, pria yang pernah melamar Sabria kembali ke Indonesia. Pria itu masih berharap mendapatkan cinta Sabria lagi dan mengungkapkan cintanya saat acara pernikahan teman sekantor Sabria dulu.

Di lain waktu, tiba-tiba Nadya mendapat pesan dari nomor baru yang ternyata adalah Fikri, teman yang ia kenal saat lomba debat mahasiswa se-Asean di Malaysia. Fikri mengajak Nadia bertemu di kampus besok, yang rupanya, pertemuan itu dimaksudkan untuk mengungkapkan perasaannya pada Nadya. Hingga suatu saat, Nadya memberi kesempatan pada Fikri untuk mencuri cintanya dalam waktu tiga hari.

"Gini, deh, kalaupun aku akhirnya nggak berhasil mendapatkan hatimu dalam 3 hari ini, aku akan tunggu kamu. Aku akan membeli waktu untuk membuktikan seberapa besar cintaku padamu. Aku yakin dan percaya, cinta istimewa itu bukan cinta yang dikelilingi dengan kemudahan. Cinta yang indah justru cinta yang dikepung dengan kesulitan." ─ [Hal. 107]

Sudah lebih tiga hari Fikri mencoba mencuri cinta Nadya, tapi gadis itu tetap tidak bisa memberikan cintanya pada Fikri. Padahal dulu ia berhasil melabuhkan cintanya ke Nizam dalam tiga hari saja.

"Meski tak menyesali mengenalnya dan menjatuhkan hati padanya, hal seperti ini tak pernah kuinginkan terjadi. Bagaimana dia yang memberikan secawan anggur, lalu kenapa tiba-tiba anggur itu tak lagi memabukkan, tapi justru mematikan? Aku hanya berharap mabuk, bukan kematian." ─ [Hal. 114]

Secara tiba-tiba, Nizam berubah. Pria yang sudah beristri itu tidak lagi mengirimi pesan kepada Nadya. Pesan dan panggilan dari Nadya juga tidak pernah direspons lelaki itu, padahal Nadya hanya ingin menanyakan kejelasan hubungan mereka.

"Nadya dipenuhi dengan tanda tanya, sementara Nizam dikepung dengan tanda seru. Kalau Sabria tampaknya lebih memilih tanda petik. Nizam sedang menginginkan titik, tapi Nadya berharap koma. Lain lagi Sabria yang lebih memilih titik-koma. Mereka bertiga hidup di persimpangan tanda baca. Keberanian memilih tanda baca yang tepat, tentu menentukan masa depan." ─ [Hal. 114]

Di dalam novel ini, banyak sekali amanat yang dapat diambil. Penulis sukses membuat pembaca terkagum-kagum dengan rangkaian diksinya, terutama kata-kata yang menyiratkan pesan di dalamnya.

"Siapa yang menanam, pasti menuai. Siapa yang menantang ombak, akan dihalang badai." ─ [Hal. 122]

"Siapa yang bermain-main di wilayah terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus." ─ [Hal. 123]

Tersebut di atas adalah sedikit pesan yang ada di novel Mahar Jingga ini.

Posting Komentar untuk "Resensi Mahar Jingga"